Its Me...!

My photo
Depok, Jawa Barat, Indonesia
Cool, Calm and Confident

Thursday 17 February 2011

Transformasi Sudut Pandang Pendidik Abad 21

Transformasi Sudut Pandang Pendidik Abad 21
Written by Dr. Tri Budhi Sastrio   
Wednesday, 16 February 2011 10:56
Gelombang globalisasi jelas tidak akan terbendung bahkan oleh benteng pertahanan budaya yang paling kuat dan paling tertutup sekali pun. Juga diyakini bahwa gelombang budaya paling mutakhir ini – gelombang globalisasi, namanya - akan menembus dan menghapus batas-batas negara, batas-batas sekolah dan kampus, batas-batas rumah, bahkan juga batas-batas ruang yang selama ini dianggap sebagai kawasan yang sangat pribadi.
Sejumlah penggagas dan pelontar ide meyakini bahwa motor pendorong laju gelombang globlalisasi ada empat yang kemudian lebih populer disebut sebagai “4-I”. ‘I’ yang pertama adalah ‘Investasi’, ‘I’ yang kedua ‘Industri’, ‘I’ yang ketiga ‘Informasi’ dan ‘I’ yang keempat ‘Individu’ Tampaknya sulit mencari alasan yang dapat dijadikan pembenar bahwa ide ‘4-I’ ini kurang tepat dan kurang relevan. Keempat ‘I’ ini bukan saja sulit terbantahkan posisi dan kedudukannya sebagai motor pendorong globalisasi, tetapi perannya justru menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan globalisasi itu sendiri.
Sementara itu lahirnya globalisasi dengan ‘4-I’-nya yang dengan serta merta diikuti oleh ekspansi ekonomi besar-besaran di seluruh jagat dunia yang pada gilirannya segera diikuti oleh berkembangnya pasar bebas dengan laju kecepatan yang sangat mencengangkan, dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan sejumlah besar negara, termasuk Indonesia. Karenanya sejumlah orang yang sangat memperhatikan masalah-masalah manusia sebagai mahluk budaya dan mahluk religius dengan getol mempromosikan faktor tambahan bagi ‘4-I’ yang sudah ada yaitu ‘I’ yang kelima dan ‘I’ yang keenam.
‘I’ yang kelima adalah ‘Iman’ dan ‘I’ yang keenam adalah ‘Intuisi Kemanusiaan’
Meskipun ‘I’ kelima dan keenam ini sifatnya lebih abstrak dan sulit diukur, bahkan parameternya seringkali juga diragukan ketepatannya, tetapi sebagai tambahan dalam bingkai gerakan kebudayaan, ‘I’ kelima dan keenam tetap dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa? Karena keberadaan dua ‘I’ tambahan ini memberi harapan baru yang segar bahwa globalisasi tetap bisa ditata dan dikelola agar melahirkan watak-watak yang tidak egois, kemauan kuat dan tindakan nyata menjaga keseimbangan ekologis, serta usaha untuk terus menerus menjalin dan mewujudkan kerjasama antarmanusia yang harmonis, menjadi besar dan pada gilirannya nanti akan terwujud.


Empat Kontrak Komitmen Di sisi lain, jika apa yang akhir-akhir ini dilontarkan oleh para pemikir dan pengambil kebijakan United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) ingin disinergikan dengan enam ‘I’ – empat ‘I’ dilontarkan lebih awal dan dua ‘I’ berikutnya ditambahkan kemudian – maka empat kontrak komitmen yang ditetapkan oleh badan dunia perlu diperhatikan dan dicermati lebih mendalam.
Kontrak komitmen yang pertama dinamakan ‘kontrak komitmen untuk bumi’. Kontrak komitment ini lahir dan diletakkan pada urutan pertama karena tindakan menjaga kesimbangan alam dan ekosistem tidak dapat ditawar-tawar lagi harus segera dimulai dan dimulainya sekarang. Jika dilakukan besok, mungkin sudah terlambat, Jadi tindakan nyata terhadap kontrak komitmen yang pertama ini memang harus dilakukan sekarang – bukan besok, apalagi nanti - dan semua pihak harus terlibat atau dipaksa melibatkan diri.
Kontrak komitmen yang kedua dikenal sebagai ‘kontrak komitmen budaya’. Tujuan utama kontrak komitmen ini adalah menjaga peradaban manusia, membentengi kemanusiaan, dan memastikan agar tindakan-tindakan humanis selalu menjadi tolok ukur bagi setiap individu dalam bersikap dan berperilaku.
Kontrak komitmen ketiga dikenal dengan nama ‘kontrak komitmen sosial’. Yang diharapkan dari kontrak ketiga ini adalah lebih dijunjungnya HAM bukan saja oleh negara dan penguasa tetapi juga masing-masing individu, karena fakta di dunia nyata menunjukkan bahwa sebagian besar pelanggaran HAM justru dilakukan oleh para individu, meskipun mungkin skala pelanggarannya tidak terlalu besar. Kontrak ini juga ingin memastikan bahwa proses ke arah demokratisasi dan kesetaraan gender terus berlangsung dengan kecepatan dan arah yang tepat.
Kontrak komitmen yang keempat dikenal dengan nama ‘kontrak komitmen etika’. Etika, sebagai bagian penting kajian filsafat, memang menyandang beban berat sebagai pengawal dan pemandu individu dalam bersikap, berbuat, bertindak, dan memperlakukan sesamanya.
Etika sendiri sebagai cabang filsafat memang telah dibagi ke dalam tiga tataran yang berbeda yaitu (1) etika normatif; (2) etika terapan; dan (3) meta-etika. Etika normatif dan meta-etika tentu saja penting dari sudut pandang ilmu pengetahuan, apalagi adalah tidak mungkin memahami ‘etika terapan’ jika sumbernya juga tidak dipahami. Tetapi untuk kepentingan yang lebih pragmatis dan lebih operasional maka ‘etika terapan – yang diyakini sebagai bagian etika yang dikembangkan oleh Brenda Almond – yang harus dijadikan fokus landasan melaksanakan kontrak komitmen yang keempat.


Tranformasi SDM Pendidikan Mempersiapkan sumberdaya manusia menyongsong tatanan baru yang lebih baik berdasarkan keempat kontrak di atas memerlukan lifelong education for all and curriculum for 21st century. yang didasarkan pada empat pilar pendidikan yang digariskan UNESCO. Pertama, learning to be—agar manusia tanpa melihat asal-usulnya mampu dan mau belajar dari setiap peristiwa kehidupan sebagai dinamika kehidupan social kemasyarakatan dan berusaha mandiri sebagai manusia. Kedua, learning to know— manusia harus mampu melihat situasi dan kondisi serta memahami makna kehidupan. Ketiga, learning to do--manusia harus berusaha dan  berbuat sesuai kapasitasnya. Keempat, learning to live together— kemampuan berbuat sesuatu yang dapat dirasakan dan memberi manfaat bagi banyak orang.
Berikutnya, meskipun abad 21 sudah melangkah cukup panjang, tetapi konsep bahwa sekarang semua orang sedang memasuki Abad 21 masih tetap dapat digunakan. Pada titik inilah peran teknologi informasi dan komunikasi yang memang menunjukkan kemajuan luar biasa dan sangat signifikan sangat diperlukan untuk mengimplementasikan empat pilar pendidikan di atas. Abad 21 merupakan era Learning Society – Masyarakat Pembelajar - yang memungkinkan setiap orang belajar dan mengakses informasi dimana pun tanpa dibatasi ruang dan waktu. Lalu, lalu apa peran dosen dan guru di era Learning Society ini?
Definisi peran dosen dan guru tidak diragukan lagi harus dirumuskan ulang. Perumusan ulang memang telah dilakukan, tetapi mungkin harus dilakukan lagi dan lagi karena perubahan yang terjadi di dunia nyata, khususnya dunia pendidikan dan pembelajaran, bukan main cepat dan dahsyatnya, dan ... sampai sekarang pun perubahan itu terus terjadi.
Kompetensi pedagogi dan keterampilan mentransfer pengetahuan pada dosen dan guru mengalami perubahan secara cepat, dahsyat dan menyeluruh. Dosen dan guru pada era Learning Society dituntut untuk mampu menyampaikan topik pembelajaran dalam bentuk animasi, film,  permainan, dan multimedia interaktif yang semuanya harus dibingkai oleh gaya tampilan yang menarik sedangkan isinya dituntut bermutu tinggi. Dosen dan guru dituntut mampu menuangkan segala macam bentuk ilmu pengetahuan – teoritis atau pun terapan - dalam buku-buku elektronik (e-book) yang dapat diakses oleh peserta-didiknya secara online selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, empat minggu sebulan, dan dua belas bulan setahun. Atau dengan kata lain siapa saja, kapan saja, di mana saja, semua anggota masyarakat pembelajar harus dapat terus menerus belajar dan belajar.
Selain dosen dan guru, peranan universitas dan sekolah juga mengalami transformasi yang bukan main dahsyat dan menyeluruhnya. Sekarang ini universitas dan sekolah yang memang menjadi ‘kawah candradimuka’ seluruh anggota generasi Learning Society berlatih menalar (reasoning ability) dan berlatih berpikir kritis. Setelah mahasiswa dan siswa mempelajari konsep-konsep pembelajarannya dari e-book, e-learning, para mahasiswa dan siswa datang ke kampus dan sekolah mereka untuk mempresentasikan gagasan dan ide, bukan datang untuk belajar seperti yang selama ini dikenal. Mungkin tetap tidak salah jika tetap dikatakan bahwa mereka datang ke kampus dan ruang kelas untuk belajar, tetapi inti belajar mereka adalah ‘mempresentasikan ide dan gagasan, melontarkan konsep-konsep segar dan inovatif dari hasil pembelajaran mereka sebelumnya’. Jadi bukannya semata-mata mendengarkan ‘ocehan’ para dosen dan guru yang mungkin saja tidak lagi benar, tidak lagi mutakhir, dan tidak lagi relevan dengan dunia nyata.
Dengan kata lain tugas utama dosen dan guru haruslah membimbing untuk menalar dan berpikir kritis. Dosen dan guru tentu saja tetap memainkan peranan penting dalam menjalankan tugas utama ini, tetapi fungsi mereka kini lebih tertuju pada usaha mempromosikan keterampilan menalar (higher-order reasoning abilities) dan keterampilan berpikir kritis. Para Pimpinan dan Penyelenggara Institusi Pendidikan Tinggi dan Sekolah harus rela mengalami transforamsi peran yaitu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para dosen dan guru. Seluruh sumber daya yang ada harus diarahkan ke arah ini dan bukan ke arah yang lain seperti ‘menumpuk dan memupuk penghasilan’. Pimpinan institusi pendidikan tinggi dan sekolah – termasuk para pengelola yayasan – yang tidak mau ikut berjalan bersama-sama dalam transformasi peran seperti ini, mungkin sudah waktunya untuk mengkaji ulang kembali keberadaan mereka dalam dunia pendidikan. Semua langkah yang tidak berujung pada usaha peningkatkan kompetensi pedagogi dan penguasaan berbagai metode pembelajaran yang efektif bagi para dosen dan guru. termasuk penguasaan berbagai teknologi dalam proses pembelajaran, merupakan dosa besar yang harus segera dihentikan.
Peran sentral para pendidik di semua tataran insitusi pendidikan adalah mempromosikan soft-skill yang meliputi nilai-nilai: kejujuran, penghargaan, sikap toleran, kemampuan mendengar, empati, kerjasama, sopan-santun, disiplin dan kontrol diri. Hal ini hanya dapat dipromosikan oleh para pendidik profesional yang memiliki kemampuan menggunakan teknologi dalam pembelajaran dan mentransfer nilai-nilai kehidupan (living values) pada setiap peserta didik.
* Sejumlah gagasan dalam tulisan ini diambil dari website dikti.

No comments:

Post a Comment