Its Me...!

My photo
Depok, Jawa Barat, Indonesia
Cool, Calm and Confident

Thursday 17 February 2011

Reportase Workshop Bu Elly Risman, Psi (1) (by Nurraidah)


Reportase Workshop Bu Elly Risman, Psi (1)


"Mengenali & Meningkatkan Konsep Diri Ibu Pendidik Sejati"


Sudah sejak dua minggu lalu, teman-teman saya  menawarkan undangan workshop Bu Elly Risman, dan sebenarnya saya tertarik karena siapa sih yang enggak kenal dengan Bu Elly Risman, melihat beliau di televisi saja sudah bikin tertarik, apalagi melihatnya secara langsung. Tapi, setelah melihat tanggalnya, kok weekday gitu ya, Rabu/16 Februari 2011 jam 12.00 - 15.00. Mengingat Hari Rabu adalah hari sibuk karena Si Sulung sekolah (SeninRabuJumat) dan juga anak didikku banyak yg mengambil les pada Hari Rabu, jadilah aku berpikir ulang.

Terimakasih kepada Mba Inne, yang terus mendesakku untuk ikut workshop yg sangat jarang dengan pembicara sekelas Bu Elly Risman, ditambah tempat lokasi yang dekat, yang hanya membutuhkan waktu 10 menit naik motor. Akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti workshop ini dengan sebelumnya mempersiapkan segala sesuatunya. Dari menyusui Si Gadis, menjemput Si Bujang dan menitipkan amanah kepada asisten guru INTENSIVE.

Waktu menunjukkan pukul 11.45 dan cuaca juga mendung sedikit gerimis, tapi saya sudah bertekad untuk hadir, maka saya menancap gas ke tempat acara. Sejujurnya kondisi saya tidak fit, karena sejak jam 4 pagi saya belum tidur, mengantar suami berangkat ke bandara, ditambah wara-wiri kesana kemari setengah hari ini.

Membayangkan teman-teman saya yang sudah hadir disana dan saya juga tidak mau ketinggalan menimba ilmu seperti teman-teman saya itu, perlu diingat, tgl 29 Januari lalu kami menghadiri seminar Bu Neno Warisman (belum sempat dibuat reportasenya), kemudian tanggal 3 Februari kami mengikuti pelatihan mendongeng Kak Dwi dari Teater Kanvas.

Singkat cerita, saya tidak mau ketinggalan ilmu dibandingkan sama teman-teman saya. Masa' saya kalah sama Mba Kiky yang seorang perawat, yang pastinya waktu beliau lebih sedikit dibanding saya yang Ibu Rumah Tangga plus sedikit kesibukan...

Alhamdulillah pengorbanan saya tidak sia-sia, workshop Bu Elly Risman sungguh subhanallah.

***

Entah apa alasannya, acara molor satu jam. Seperti biasa, acara dibuka dengan sambutan-sambutan, terutama dari pihak SDIT IQRO selaku pelaksana.

Ketika Bu Elly hendak tampil, profil beliau tidak dibacakan, mungkin sudah banyak yang kenal beliau, jadi sang moderator merasa tidak perlu membacakannya. Hanya disebutkan Bu Elly Risman kelahiran 21 April 1959. Disini saya merasa kagum dan terheran-heran, karena selama workshop yg berlangsung selama 3,5 jam full, Bu Elly selalu berdiri dan aktif kesana kemari menyambangi peserta supaya workshop berjalan hidup. Seakan beliau ingin menyampaikan kepada kita bahwa, usia bukanlah halangan untuk berkarya, mengingat usia beliau 60 tahun .

Workshop diawali dengan "look in", artinya kita diajak untuk melihat definisi istri atau Ibu.

Apakah kita dipersiapkan untuk menjadi istri dan Ibu?
Apakah kita pernah menghadiri sekolah untuk menjadi istri atau Ibu?
Sebagian besar dari kita jawabannya adalah "tidak"

Apakah dengan melahirkan anak, artinya kita otomatis siap menjadi Ibu?
Hal itu sama saja dengan hanya membeli piano untuk menjadi seorang pianist, sungguh tidak mungkin terjadi secara otomatis.

Jaman dulu, tugas seorang istri adalah jelas, mengurus rumah dan anak-anak. Dan tugas ayah adalah mencari nafkah. Tapi, jaman sekarang banyak yang berubah, diantaranya tugas suami istri yang sudah tidak jelas lagi batasannya dan terlalu banyak harapan dan tekanan dari banyak pihak.

Masih melajang, ditanya kapan menikah?
Sudah menikah, ditanya kapan punya anak?
Sudah punya anak, ditanya kapan nambah anak?
Sudah banyak anak, sekolah dimana?
Sudah sekolah, bagaimana sekolahnya? Apakah berprestasi?
Sudah berprestasi, masih ditanya bahkan dicibir
*berprestasi kok bilang-bilang, sombong banget sih*

Kita lahir dan besar dalam suatu kondisi dimana kita jarang sekali "look in" atau melihat kedalam diri sendiri. Kita berpikir dan bertindak lebih banyak disebabkan karena penilaian orang lain. Jadi kita orang berkomentar tentang kita, kita sudah "panik".

Kita sibuk memoles wajah, pakaian dan penampilan kita dan anak-anak kita, kemudian kita lupa dengan yang paling penting, yaitu kesehatan ruhani atau jiwa kita.

Sebagai contoh, adalah kehidupan pasangan muda di kota besar, seperti Jakarta ini.

Banyak pasangan yang keduanya bekerja, ketika sampai di rumah, hanya tinggal lelah, anak-anak di "sub contract" kan. Kita membayar pembantu atau pengasuh. Kita sudah merasa cukup mendidik anak kita, jika kita menyekolahkannya ke TKIT, SDIT, SMPIT, kemudian kita kasih banyak les plus memanggil guru ngaji kerumah. Semua tugas Ibu kita "sub contract" kan.

Padahal siapa yang punya anak?
Siapa yang nantinya harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah?
Allah Tidak Tidur, bahkan Allah dapat melihat setiap hormon yang keluar akibat dari perbuatan kita.

Ketika kita stress, maka otak akan mengeluarkan beberapa jenis hormon yang pada akhirnya akan membuat anak kita gelisah, tidak tenang, jiwa mereka seakan merasa ada yang kurang, tapi tidak tahu apa itu, jadi tidak aneh kalau anak-anak sekarang "melarikan diri" ke game online, PS atau situs jejaring sosial, karena ketika mereka berada di dunia yang "semu" itu, mereka akan merasa ada sesuatu yang dapat membuat mereka melupakan "kekosongan" jiwa mereka.

"Saya banyak sekali menemukan kasus anak-anak bermasalah, baik secara akademis, sikap maupun seksualitas...saya mencoba menelusuri penyebab dan akar masalah...dan jawaban anak-anak yang saya tangani semua berujung pada: "Ayah/Ibu saya tidak mengerti saya, saya tidak pernah didengarkan, saya hanya disuruh ini itu, saya tidak pernah ditanya pendapat saya atau sekedar diminta menjawab mau atau menolak."

Para orang tua telah kehilangan sense of human being, kita tidak memanusiakan anak-anak kita, dengan dalih kita sayang mereka dan menginginkan yang terbaik untuk mereka dan berlindung di balik kesibukan "demi" masa depan mereka.

Dan lagi-lagi, kita berlindung di balik kalimat: "Ayah/Ibu adalah yang paling tahu mana yang terbaik buat kamu, kamu tinggal menjalani saja, supaya tidak menyesal nantinya."

Terus ketika sikap anak-anak tidak sesuai dengan keinginan kita: "Kamu tahu gak sih, kalo Ayah dan Ibu lelah sekali mencari uang, banting tulang kesana kemari, demi mendapatkan yang terbaik buat kamu."

Tahukah, efek dari ucapan kita diatas?
Anak-anak yang belum bisa mengungkapkan pendapat atau pikirannya, hanya bisa menjawab dalam hati: "Siapa yang suruh Ayah/Ibu kerja mati-matian, aku enggak pernah minta masuk sekolah mahal, les ini itu, kursus ini itu...itu semua kan kemauan Ayah/Ibu, aku sama sekali enggak berminat."

Jangan lupa, bahwa kita dibesarkan pada rentang waktu yang jauh berbeda dengan anak sekarang. Bagaimana cara orang tua kita mendidik kita, sudah hampir tidak bisa dipraktekkan lagi semuanya. Dan ingat, bahwa cara kita berkomunikasi dengan anak-anak, harus disesuaikan dengan umur dan logika berpikir mereka.

"Ibu, sudah kerja dari pagi sampe malam, naik kereta, terus keretanya mogok, sampai kantor dimarahin atasan, kerjaan tidak selesai karena ada banyak masalah. Kamu bisa enggak sih, tidak menambah masalah Ibu dengan tidak membuat Ibu marah? Permasalahan Ibu sudah cukup banyak, jadi kamu jangan menambah beban Ibu ya?*^&@$!^@(#^"

Kalo kalimat diatas disampaikan kepada anak usia TK, kira-kira yang otaknya error itu siapa? Ibunya atau anaknya?
*para peserta seminar ketawa, mungkin mengingatkan akan diri mereka.*

"Saya adalah profesional, saya pernah menempati posisi tertinggi di perusahaan, bahkan saya adalah pemilik perusahaan. Saya sendiri merasakan bahwa menjadi Ibu adalah tugas yang lebih berat dibanding menjadi pemimpin atau perusahaan."

"Menjadi Ibu adalah pekerjaan yang sangat menantang, karena kita harus menghadapi dan membimbing anak dengan segala keunikannya, meskipun mereka bersaudara, tetap mereka adalah individu yang berbeda. Jangan pernah kita membandingkan anak kita dengan saudara lainnya, atau membandingkan anak kita dengan anak orang lain, karena itu adalah kesalahan terbesar dalam mendidik anak, dan sangat menyakiti perasaan anak kita." Kata Bu Elly yang sudah mempunyai 4 cucu ini.

Kita sebagai manusia, orang tua, istri atau anak, tugas kita "hanya" menjawab keempat pertanyaan ini:

1. Siapa saya?
2. Dari mana saya?
3. Di mana saya?
4. Akan kemana saya?

Bersambung

1 comment: