Its Me...!

My photo
Depok, Jawa Barat, Indonesia
Cool, Calm and Confident

Sunday 8 January 2012

Untuk Sebuah Cinta dan Cita-Cita

Dari catatan seorang teman tentang pernikahan dan pendamping hidup...

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Pernikahan bagi saya adalah ibadah sekaligus bukti ke-Maha Besaran-Nya. Keberkahan dalam pernikahan ditentukan bgm para pelakunya menanaje pernikahan agar selalu pada garis yg ditetapkan. Sakinah,mawaddah,wa rahmah adl hasil dari usaha itu dg blandaskan cinta Allah dalam membangun cinta para pelakunya. Shg pnikahan mampu mjd media slg mbangun dan saling mengasihi utk dpt menatap wajah-Nya di akhirat kelak. Amin

Kelak berharap memiliki pendamping hidup seorang muslimah sholehah yang mampu diajak belajar dan saling mengisi kekurangan dan kelebihan serta secara bersama mengarifi kehidupan ini hingga bjumpa dengan-Nya dan saya pun dapat belajar darinya. Muslimah yang mampu membina diri,anak sbg investasi kebaikan di dunia untk akherat. Muslimah yang senantiasa bersyukur dan semangat berbagi atas nikmat rabb-Nya,hingga ia mampu berusaha utk menggapai ridho-Nya. Muslimah yg mampu mjd bagian yang kokoh dan uuh seperti bangunan yang mjd satu dalam hdup saya agar kokoh dan istiqomah dlm menjalani hidup ini terutama utk kemaslahatan umat. Muslimah yg selalu mempunyai jiwa dan semangat yg tinggi dan pantang putus asa. Muslimah yg sejuk dipandang dan memancarkan aura dan izzah sbg seorang muslimah.

#sebagai renungan dan muhasabah utk muslimah

* You went so soon..  Thanks for every memory... (Semoga mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Allah)

Wednesday 4 January 2012

Studying Abroad

Studying Abroad
Belajar Sambil Berpetualang di Negeri Orang
Pengarang: Windy Ariestanty, Maurin Andri


Studying Abroad adalah panduan tepat buat kamu yang pengen ngelanjutin sekolah ke luar negeri. Buku ini disusun berdasarkan pengalaman para mahasiswa yang pernah mengecap pendidikan di berbagai benua---Asia, Amerika, dan Eropa. Semua topik dibahas dengan tuntas dan detail, seperti:

Pertimbangan apa aja yang harus dilakukan saat menentukan negara dan universitas yang pengen diincar?

Ke mana harus nyari beasiswa dan gimana caranya biar kans menangin beasiswa makin gede?

Gimana sebenarnya proses ngurus paspor dan visa?

Apa yang harus dilakukan setibanya di negara tujuan?

Gimana caranya ngatur keuangan dan ngedapetin pekerjaan sampingan selama berada di sana?

Apa yang harus dilakukan saat ngerasa homesick dan gimana ngatasin culture shock?

Studying Abroad nggak hanya sekadar panduan supaya sukses selama belajar di luar negeri, buku ini juga ngingetin kamu supaya bersenang-senang selama di sana. That's right... maximum grades, minimum stress!

Tuesday 3 January 2012

Annyeong KOREA


SINOPSIS

Penulis : Elvira Fidelia
Penerbit : Gagas Media

"Odie kayo". Ini adalah kalimat yang sering dilontarkan sopir taksi di Seoul saat menyapa penumpang, artinya 'Mau pergi ke mana?'

Saya berusaha menyampaikan alamat yang akan dituju. Namun, tiba-tiba si sopir taksi pergi dengan mengucapkan "Wegugin andwe". Well, saat itu sih saya nggak ngerti artinya apa. Tapi sekarang, saya paham betul maksudnya, "Oh, orang asing, nggak deh".

Yup, tidak sedikit orang Korea yang takut duluan sama orang asing. Mereka lebih memilih untuk pergi jika melihat tampang orang asing kebingungan yang mendekat ke arahnya.

***

Mendapat kesempatan beasiswa ke Negeri Ginseng bisa dibilang seperti menerima kado istimewa. Sebuah pengalaman yang tak bakal terlupakan seumur hidup. Priceless. Tak hanya mengenyam pendidikan, terbuka pula kesempatan berjalan-jalan gratis mengenal Korea Selatan—negeri yang terkenal akan modernitas sekaligus kekentalan budayanya.

Annyeong, Korea menghadirkan cerita seru seorang mahasiswa asal Indonesia selama menempuh kuliah di Seoul. Elvira Fidelia Tanjung mencoba menaklukkan tiap sudut Korea di sela waktu belajarnya. Menjelajah Nami Island, Jeju, jimjilbang (tempat sauna), wisata kuliner makanan khas Korea, shopping time, dan sebagainya. Hasilnya, tentu saja banyak cerita seru, baru, yang menarik hati kita untuk mengenal Korea lebih jauh lagi. Korea, saranghae ^^

Sunday 1 January 2012

Fuyuno Ai

Fuyuno Ai 
by : sausan 


"Brak!!!” Toni menggebrak meja. 

“Hey ! Anata! Ngapain saja kamu seharian tadi! Masak begini saja tidakbecus! Dasar perempuan tak tahu diri! Aku seharian capek tahu!” Toni terus mengumpat. 

Tak lama kemudian dia masuk ofuro. Sekali lagi Brakk! Pintu kamar mandipun jadi korban sasaran berikutnya. Aku terduduk lega. Jantungku tak beraturan setiap kali mendengar teriakan Toni. Segera kuambil air minum di atas meja. Belum sampai di mulutku tiba-tiba.

”Hey ! Ambilkan handuk sama piyama! Cepaaat!” Teriak Toni dengan kasar. Dengan setengah ketakutan aku lakukan apa yang diinginkannya. 

“Ya ya!..ini kutaruh di atas sentakuki…” kataku sambil meletakkan handuk biru dan piyama coklat di atas mesin cuci.

Setelah itu aku membersihkan meja yang penuh berserak piring-piring akibat kemarahan Toni tadi. Tiba-tiba dadaku terasa sesak, sampai kapan aku begini?

Air mataku mengalir terus tak henti. Setiap saat hampir aku dipenuhi ketakutan. Toni tak selembut yang kubayangkan. Sudah tiga bulan ini aku hidup bersamanya, seperti suami istri. Aku jatuh cinta sejak pertama mengenalnya. Matanya agak sipit, meski kulitnya kecoklatan. Indonesiajin, aku suka.

“Dasar cengeng! Buat apa nangis? 

"Cepat bersihkan sana! Lelet!” Kata Toni mengagetkanku. 

“Lelet?” Tanyaku. Kulihat Toni melengos tak menjawab. Lelet? Kugigit bibir bawahku menahan pedih.

Entah berapa lama aku sibuk membersihkkan peralatan makan dan dapur, tahu-tahu jam dinding sudah menunjukkan pukul 12.00. Pantas saja tak kudengar suara Toni lagi. Biasanya dia mengerjakan repoto sambil memutar musik keras. Ah Toni. Kenapa aku selalu bisa bersabar menghadapimu? Meski kutahu tiap hari aku selalu menerima perlakuan kasar darimu? Terlalu cintakah aku? Apakah aku terlalu berharap menjadi istri Toni dan setelah usai program masternya berakhir di Todai, aku bisa ikut pulang ke negerinya? Negeri indah yang sering kubaca di majalah, koran ataupun buku-buku di kankousha?

Piuuh! Aku menghela nafas panjang. Kupandangi wajah Toni yang meringkuk di futon. Rupanya musim Aki membuat Toni kedinginan, padahal menurutku belum seberapa dingin. Menurut tenkiyoho suhu udara Tokyo masih sekitar 23 derajat, hanya kalau hari mulai malam suhu perlahan menurun. Hmm duduk di taman mungkin lebih sejuk. 

*****

Aku berjalan menyusuri barisan kamar. Ternyata ada banyak orang asing tinggal di apato ini. Terlihat nama-nama asing tertulis di box surat yang baru kulintasi di ujung apato. Selama ini aku jarang memperhatikan. Maklum, aku biasanya sibuk di hari-hari biasa. Kuliah masuk jam 9 pagi dan selesei biasanya jam 3 sore. Setelah itu baito di salah satu kombini terkenal dekat Shibuya. Jam 9 malam baru bisa bernafas lega. Meski di rumah ada pekerjaan menumpuk selalu setia menanti. Yah! Semua kulakukan atas nama cinta. Cintaku pada Toni, seorang calon master IT.

Taman kecil yang lebih suka kusebut “Pocket Park” di depan apato tampak lengang. Lampu taman yang redup menambah suasana sepi. Di pintu masuk taman aku berpapasan dengan seorang pemuda. Sepertinya penghuni apato juga. Tanpa memandangku dia mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan sedikit senyum. Oops! Ngapain senyum. Orang dia gak lihat aku. Aku berkata pada diriku sendiri. Siapa dia ya? Hmm kayaknya dia sering aku temui mendorong kereta bayi di taman ini. Bukankah dia suami Fatimah San? Orang Indonesia yang juga sedang kuliah di Todai? Yup! Tidak salah. Aku sering ketemu dengannya ketika kami sama-sama buang sampah. Dia selalu menyapaku lebih dulu. Wajahnya terlihat bersih serta penuh senyum dibungkus scraf yang selalu sepadan dengan baju dasternya. Aku menyebut daster untuk baju yang sering dipakainya. Dia tak pernah kujumpai memakai pakaian sepertiku jeans ketat, kaos ketat, dengan segala model belahan. Apa gak panas tuh? Apalagi natsu …hmm taihenkamo.. Aku mengangkat bahu.

Saat tak ada kuliah aku sering sendirian di rumah. Terutama hari juma’at, aku libur kuliah juga libur baito. Saat itulah aku sering melihat wajah-wajah teduh berscraf di rumah Fatimah San. Entah siang, atau sore aku lupa. Apa yang mereka lakukan ya? Penasaran juga. Sepertinya mereka rukun dan akrab sekali

Di kampus aku punya teman yang pakai seperti itu juga. Futari dake, tapi ada banyak temannya dari fakultas lain yang sering ngumpul di taman depan ruang kuliah. Urayamashinaa..mereka selalu riang. Aku kadang diajak gabung oleh wi san, yang sekelas denganku. Senang bisa mengenal mereka. Semuanya ramah. Bahkan ketika ada teman mereka yang merayakan pesta perpisahan karena akan pulang ke Indonesia, mereka juga mengundangku. Sungguh terlihat jelas mereka sopan-sopan sekali. Teman yang laki-laki terlihat seperti mengambil jarak Tidak berbaur dengan kami yang perempuan. Dan selama kutahu tak pernah sekalipun ada minuman keras ada diantara mereka. Mengapa beda dengan teman-teman Toni ya? Toni saja seperti itu. Suka mabuk. Aku sih menganggapnya wajar karena aku terbiasa dengan itu semua. Kalau aku lagi marah sama Toni pun suka minum sampai teler. Lega rasanya hati bila bisa minum sampai mabuk. Jadi ingat saat aku tertidur pulas di samping apato beberapa waktu lalu. Fatimah San yang membangunkanku. Sungguh aku malu saat itu.

Ingat Toni aku sedih. Beruntung tadi Toni tak menamparku. Minggu lalu wajahku sebelah kanan membiru bekas tamparan Toni. Aku tak pernah melawan. Aku sangat mencintai Toni. Dan aku berharap Toni mau berubah. Saat aku ke gereja ikut Toni yang tak mesti seminggu sekali itu, aku selalu berdoa di depan patung salib. Mudahan dia mengabulkan pintaku untuk senantiasa bahagia bersama Toni.

Teng..teng.. sayup-sayup kudengar dentang jam berdentang dua kali. Kulirik Gucci pemberian Ibu oshogatsu tahun lalu. Yup! Aku beranjak meninggalkan taman.

"Yukiko San!! Matte!”

Aku menoleh. Kulihat Hasna San, teman sekelasku berlari-lari. Dengan nafas tersenggal-senggal dia mengatakan ingin mengajakku ke rumahnya.

“Kamu dokoemo ikanai? Kyo? Senseinya gak hadir kan? Yuk ikut kerumahku..oops! kaikan. He.he, daripada dirumah bengong.” Pintanya.

“ Ee to..sonee, tapi nanti aku harus baito jam 3 sore.” Jawabku

“Nee sakkini kaeru iiyou! Iko!" Aku tak bisa menolak. Entahlah, aku merasa nyaman bersama dia dan teman-temannya.. Uniknya mereka tak ada yang punya pacar. Katanya suami mereka nanti itulah pacar mereka. Tidak boleh pacaran dalam agama mereka. Oh ya Islam.

Kamu gimana? Saat mereka balik bertanya aku kelabakan. Terus terang aku tak tahu sebenarnya agamaku apa? Sejak bersama Toni tiga bulan yang lalu aku sering ikut ke gereja. Cuman ikut saja. Kupikir sama saja. Shinto, Budha, juga Kristen. Karena mungkin aku tak mempelajari sejak kecil. Dan sekarang aku sama Toni hidup bersama tanpa ikatan. Seperti apa ya aku dalam pandangan mereka? Di negeri mereka tabu hidup bersama. Hanya Toni bersamaku…dia Indonesiajin tapi…

“Nee..hello?? kulihat Hasna menggoyangkan tangannya didepanku. “Melamun?” katanya lagi..

“..iie…” sahutku cepat.

“Naik Keio saja ya ke Meidaimae trus oper ke jurusan Hachioji” Kata Wi San menerangkan, setelah kami tiba di eki. Ternyata sudah menunggu teman-teman Hasna San yang lain di situ. Ada sekitar lima orang. Nama mereka aku tidak begitu hafal.

“Konnichiwa” Aku menyapa sambil mengangguk.

“Konnichiwa” .sahut mereka serempak.

Dan tak ada sepuluh menit, kami sudah naik Keio Line menuju Meidaimae. Seperti yang tadi dikatakan Wi san nanti norikae di Meidaemae, baru turun di Sengawa eki.

Didalam densha aku banyak termenung. Ada diantara mereka selalu membuat aku berpikir. Suami itu sekaligus pacar? Tidak ada pacaran? Bagaimana bisa saling mengerti dan memahami sifat-sifat masing-masing kalo tidak saling mengenal mendalam terlebih dahulu? Itukah islam? Hatiku berdesir. Sepintas dimataku bayangan fatimah San dan kelurganya yang tampak bahagia. Teman-temanya banyak. Juga Wi San dan kawan-kawannya wajahnya selalu terlihat cerah.

Sampai di Sengawa Eki jam 11 siang. Masih banyak waktu menunggu baito. “Eh Yukiko San mau belanja sebentar ya? Daijobu?” Tanya Hasna San. Aku mengangguk. 

Tak lama setelah itu kami berjalan ke Soshigaya kaikan. Lumayan jauh dari eki, sekitar 30 menitan. Gedung asrama mahasiswa berlantai 5 itu terkesan asri, rapi dan bersih. Sepertinya nyaman tinggal disini.

“Kita ke lantai berapa?” Tanyaku. “Rencananya kita oinori dulu dikamar Wi San lantai I, habis itu ke dapur masak dan makan..dou? Sudah lapar ya? Maaf ..sholat dulu.” Hasna San menjawab sambil mencari sesuatu dalam tasnya.

“Sholat?”

“Ya..” Jawab Hasna San singkat.

“Sholat itu oinori…” Sambung seseorang. Aku mengangguk. Hmm inorinya gimana ya? Apa sama denganku? Ah lihat saja.

“Yuk masuk..maaf kamarnya sempit, masih berantakan pula..yuk semua masuk, sholatnya gantian ya? Tapi kayaknya cukup deh!” Kata Hasna San sambil membuka pintu.

Aku melihat mereka berbaris rapi dalam kamar sempit itu. Setelah itu mereka melakukan gerakan-gerakan aneh. Apa maksudnya ya? Sama dengan kebiasaan orang jepang kalau minta maaf yang kadang sampai sujud. Lama kuperhatikan mereka, sambil melihat-lihat suasana kamar Hasna San. Hmm rapi. Rupanya dia suka biru. Ada stiker bertuliskan “Islam is the best choice” dan “Islam is my way”. Selebihnya ada banyak tulisan dari huruf yang aku tak tahu. Huruf apa ya? Tak sengaja pandang mataku tertuju pada sebuah buku tebal warna hijau di atas meja belajar depanku. Kudekatkan kepalaku mencoba membaca judulnya “The Nobel Quran the english translation and commentary”. Buku apa ya? Ingin tahu segera kuambil dan kubuka. Huruf-huruf asing banyak disitu, meski ada juga bahasa inggrisnya. Pelan-pelan kubuka selembar demi selembar sampai ada tulisan yang menarik hatiku “Say: He is Allah, the One.” Hatiku berdesir.

“Baca apa Yukiko San?” Sebuah suara mengagetkanku.

“Gommenasai..” Aku segera minta maaf atas kelancanganku. “Eh gak papa!” Wi San buru-buru menjawab. “Abis ini langsung ke dapur ya semuaa!! Aku duluan..bawa belanjaan ke sana.” Katanya sambil membawa tas plastik berisi belanjaan. 

“Aku bantu..”kataku menawarkan. 

“Iiyou…Yukikosan bareng yang lain saja..” sahutnya tersenyum seraya bergegas keluar. 

“Ya Yukiko San…bareng aku, bentar betulinjilbab.. “ kata seseorang. 

“Jilbab?? Nani??

“Gommen, scraf..ini “ katanya menunjuk scraf yang dia pakai.

“Eh ini boleh aku coba? Aku menunjuk scraf pink di atas bed. 

“Pengin tahu gimana wajahku kalau pakaiscraf kayak kalian..Punya siapa?"

"Mau coba? Waah pasti cakep.” Teman yang lain angkat bicara.

"He eh gimana pakainya?" Aku tersenyum.

Aku kemudian asyik mencoba scraf pink itu. Mereka membantu mendandaniku..Kulihat dicermin wajahku berubah. Perasaan aku jadi lebih cantik he...he..Hmm ada rasa damai memakai ini.

“Waah bener kataku kan?? Yukiko San makin cakep euy! Mereka mengerumuniku. 

"Iie…" jawabku malu.

“Oh ya kalian kapan buka ini? Kelihatannya dari tadi tidak ada yang buka? Gak panas? Aku jadi pengin tahu rambut Wi San ? Boleh ? ” tanyaku ingin tahu. 

“E dame you... “ Wi san tersenyum

“Heeh!! Nande?

“E to..sou nee..dalam aturan agamaku yang boleh lihat hanya suami, keluarga ..hmm dan.. sesama perempuan yang sama agama islamnya..” Wi San tampak hati-hati menjelaskan.

“Sou ka?.Aku gak boleh ya?..maaf.. Daijobu…". Wi San tersenyum

“Oh ya Hasna kasihan didapur kita Bantu yuuk!"

“Yuuk!!" Sahut yang lain.

"Eh aku boleh make ini ke dapur? Biar sama dengan kalian..he he..punya siapa sih?" 

“Pakai saja punya si Hasna. Kita kasih kejutan dia hi hi“ Jawab Mela. 

“Ya betul, “ teman yang lain setuju. Aku senang.



*****

Sejak itu aku semakin akrab dengan mereka. Aku tertarik untuk mengetahui sesuatu dari mereka. Toni tidak suka melihat aku sering bergaul dengan mereka. Kami semakin sering bertengkar. Entah berapa kali aku kena pukul Toni. Kalau sudah begitu biasanya aku lari menemui Hasna atau siapaun yang aku telah kenal akrab. Aku tak tahan. Tapi aku begitu mencintai Toni. Dan Toni tahu itu. Dia yakin aku takkan meninggalkannya. Dia selalu mengejekku. “Ha ha ha! Kau tidak bisa meninggalkan aku bukan?? Lihat saja setiap kau lari kau pasti akan pulang! Ha ha!” Hatiku sungguh sakit mendengar hal itu. 

Toni bukan suamiku, kami tak ada ikatan apa-apa. Meski aku selalu bertindak bak istri setia. Dan Toni? Apakah yang kucari? Apa yng bisa kuharapkan dari dia? Menjadi istrinya? Kapankah itu? Sejuta Tanya membuatku ragu dengan jalan yang selama ini kutempuh.

Bersama Hasna San dan teman-temannya aku seperti memperoleh sesuatu yang baru. Ada rasa yang tak bisa kuungkapkan. Aku jadi sering ketagihan memakai scarf yang mereka sering menyebutnya jilbab. Seiring dengan itu mulai sering membaca tentang islam. Mencari reference mengapa mereka menyebut tuhan mereka satu. Seringkali aku terjebak dalam kebingungan-kebingungan yang tak ada jawab. Sejak kecil aku terbiasa pergi beribadah kemana saja. Kadang ke kuil, Jinja kadang juga keluargaku pergi ke gereja. Dan selama bersama Toni aku lebih sering ke gereja. Entahlah. Tuhanku siapa?



*****

Suatu hari di bulan Desember yang penuh salju memutih disana-sini, Aku melangkah dengan mantap ke apatonya Toni tempat selama beberapa bulan ini kami hidup bersama. Seminggu yang lalu aku bilang pada Toni untuk menengok orang tuaku di Osaka. Aku memang pulang, hanya dua hari saja. Selebihnya aku banyak bersama Hasna san.

Ting Tong! Aku memijit bel apato Toni. Hatiku berdebar-debar menanti pintu dibuka. Bagaimanapun aku mencintai Toni. Namun aku sudah memutuskan. Ada cinta lain yang harus kugenggam.

Ting! Tong! Sekalilagi aku memencet bel apato. Toni pasti tahu aku yang datang, karena aku sudah bilang hari ini aku akan datang. Kuyakinkan hati untuk mengatakan sesuatu pada Toni. Tak lama kemudian Toni membuka pintu. Kulihat Toni tersenyum, namun seketika raut wajahnya berubah. Ada bara di sana . Aku yakin dia sudah bisa menyimpulkan. Aku mencoba tersenyum.Tapi..

“Pergiiii!” Jangan datang lagi!! Toni berteriak.

Aku diam. 

“Cepat!! …Atau tunggu disitu! Jangan masuk. Haram kamarku kau masuki lagi!" Teriaknya Sekali lagi aku diam. Kemudian Toni melemparkan semua barang-barangku. Sepatu, baju-baju, tas…buku..

“Aku hanya ingin minta maaf..” Kataku pelan

“Persetan!

Braaak ! Pintu tertutup.

Di depan pintu aku terpaku. Maafkan aku Toni. Hampir sepuluh menit aku berdiri didepan pintu. Diantara barang-barang berserak. Aku sungguh ingin minta maaf pada Toni sebelum aku pergi.

Piuuuuh!

Aku melangkah di antara reruntuhan salju taman depan apato. Ya Allah indah sekali musim ini. Cintaku bersemi hanya padaMu. Biarkan aku datang padaMu ya Allah dengan segenap rasa, menghapus segala noda dan kesalahan lalu. Kutatap langit yang penuh kapas-kapas melayang. Dan kubiarkan hembusan angin fuyu mempermainkan jilbab pinkku.


Usai di sudut kaikan 16.44 satoe oktober 2004


catatan:
Fuyuno Ai : Cinta musim dingin
Aki : Musim gugur
Todai : Tokyo daigaku/Universitas Tokyo
Baito : Kerja part time
Apato : Apartemen
Natsu : Musim panas
taihenkamo: mungkin susah
matte : tunggu!
Dokoemo ikanai?: enggak pergi kemana-mana?
Kyou : hari ini
Sensei : dosen
konnichiwa : selamat siang
Eki : stasiun kereta
Daijoubu : gak apa apa
Dou : gimana?
Kaikan : asrama
Dame : gak boleh
Nande? : kenapa?
Iiyou : boleh
Souka? : benarkah?

Mengenal Rumaisha


Ia adalah wanita Anshor yang termasuk dalam golongan periode pertama wanita yang beriman. Nama sebenarnya Ar-Rumaisha, tetapi lebih dikenal dengan nama Ummu Sulaimi binti Salam An-Najjari. Pada masa jahiliyah ia menikah dengan Malik bin Nudhar An-Najjari dan melahirkan anak bernama Anas. Ketika Ummu Sulaimi telah menjadi mukminah, ia kemudian melaksanakan kewajibannya sebagai mukminah yang taat. Diajaknya sang suami untuk menjemput hidayah Islam, tetapi kecongkakkan jahiliyah telah membuat suaminya menutup mata atas kebenaran. Bahkan, Malik bin Nudhar An-Najjari marah. Maka, keluarganya dan kota Madinah ia tinggalkan. Negeri Syam menjadi tujuannya hingga ia meninggal disana.
Ummu sulaimi berkata, ”Saya tidak akan menikah hingga Anas baligh dan dapat duduk di majelis.” inilah yang membuat Anas bin Malik ra. Pernah berkata, ”Semoga Allah membalas ibuku dengan kebaikan, ia telah memeliharaku dengan baik.”
Waktu terus mengalir. Hingga tiba suatu masa, ketika itu seorang lelaki bernama Abu Thalhah bangkit melamar Ummu Sulaimi. Ia berkata, ”Ya Rumaisha, Anas telah duduk dalam majelis. Bagaimana jika aku melamarmu?” Maka jawab Ummu Sulaimi, ”Demi Allah! Orang seperti kamu ini wahai Abu Thalhah, tidak mungkin ditolak lamarannya. Hanya sayangnya kamu masih belum beriman, sementara aku adalah perempuan mukminah. Tidak halal bagiku menikah denganmu!”.
Abu Thalhah berkata dengan heran, ”Apakah yang menimpamu wahai Rumaisha? Apakah kau tidak suka dengan emas dan perak?”
”Aku tidak suka dengan emas dan perak. Engkau adalah orang yang menyembah sesuatu yang tidak dapat berbicara, tidak dapat melihat, dan tidak sedikit pun memberi manfaat padamu. Tidakkah engkau malu wahal Abu Thalhah, bahwa engkau menyembah benda yang sebenarnya dibuat oleh fulan dan fulan? Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku. Sungguh, aku sama sekali tidak mengharapkan mahar yang lain!” Jawab ummu sulaimi tegas dengan penuh izzah (kemuliaan).
Abu Thalhah terperangah. Betapa wanita dihadapannya ini adalah wanita cerdas yang mampu menggoncang kesadaran tentang kedunguan dirinya. Abu Thalhah kemudian bekata, ”Bagaimana dan dengan siapa aku harus menyatakan keislamanku, wahai Rumaisha?”
”Nyatakanlah kepada Rasulullah!”
Abu Thalhah mencari majelis Rasulullah saw. Kala itu beliau sedang dikerumuni para sahabatnya. Maka Rasulullah saw. Bersabda, ”Lihatlah Abu Thalhah, ia datang dengan wajah bersinar!”. maka terjadilah apa yang mesti terjadi. Abu Thalhah pun menyatakan keislamannya di hadapan Nabi. Itulah yang dijadikan mahar untuk menikahi Ummu Sulaimi. Maka seorang sahabat, Tsabit Al-Banani berkata, ”Aku sama sekali belum pernah melihat seorang perempuan yang lebih mulia mas kawinnya dibandingkan dengan mas kawin Ummu Sulaimi.”
Ummu Sulaimi menjadi isteri Abu Thalhah yang setia, menyenangkan bila dipandang, taat bila diperintah, dan menjaga amanah jika ditinggalkan suami ke luar rumah. Kebahagiaan mereka bertambah lagi ketika allah mengaruniai keluarga itu dengan bayi laki-laki. Anak tampan itu dipanggilnya Abu Umair.
Kawan, Allah sekali lagi akan mengajarkan kepada hambanya melalui keteguhan keluarga ini. Suatu hari anak yang sangat mereka sayangi ini sakit. Sementara Abu Thalhah menjalankan kewajibannya mencari nafkah disamping menghadiri majelis Rasulullah. Ummu Sulaimi dengan sabar merawat sang anak yang sakitnya semakin parah. Hingga suatu ketika tatkala Abu Thalhah belum lagi sampai dirumah, anak itu meninggal. Dengan sabar Ummu Sulaimi memandikan, mengafani, dan diselimuti dengan kain. Ia berpesan kepada orang-orang yang mengetahui peristiwa tersebut untuk tidak mengabarkan berita itu pada suaminya.
Ketika Abu Thalhah datang, ia menanyakan perihal anaknya. Ummu Sulaimi menjawab, ”Ia sekarang lebih tenang dari kemarin dan tengah beristirahat dengan tenteramnya!” Mendengar jawaban tersebut Abu Thalhah menjadi lega. Segera ia membersihkan badannya. Ummu Sulaimi menyiapkan santapan untuk berbuka saum suaminya itu.
Malam pun tiba. Ummu Sulaimi mengenakan pakaian terindah yang ia miliki. Ia juga memakai minyak wangi. Malam itu Abu Thalhah menggaulinya dengan bahagia. Ketika pagi tiba, Ummu Sulaimi bertanya pada suaminya, ”Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika seseorang meminjam sesuatu kemudian sesuatu itu diambil oleh yang memiliki. Adakah sesuatu itu tetap dipertahankan oleh yang meminjam?”. abu Thalhah menjawab, ”Tidak! Peminjam harus mengembalikan barang pinjamannya dengan rela atau terpaksa. Dan itu yang semestinya dilakukan seorang peminjam!”. Ummu Sulaimi berkata, ”Maka demikianlah dengan anak kita. Ia dipinjamkan Allah kepada kita dan sekarang ia telah diambil kembali oleh Allah. Maka harapkanlah pahalanya disisi Allah!”. Abu Thalhah terkejut, ”innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Engkau tinggalkan ia dan kau datangi aku hingga aku menggaulimu. Kemudian sekarang baru kau beritakan kepergiannya setelah semua berlalu. Demi Allah, aku akan mengadukan hal ini pada rasulullah!”.
Ketika hal itu dikatakan kepada Rasulullah, beliau tersenyum kemudian ia bersabda, ”Semoga Allah memberkatimu pada malam itu!” Doa Nabiyullah itu naik ke langit. Beberapa bulan kemudian lahirlah dari rahim Ummu Sulaimi bayi yang tampan dan kemudian diberi nama Abdullah bin Abu Thalhah. Kelak dari Abdullah ini, Abu Thalhah mendapatkan cucu seorang laki-laki yang bernama Ishak bin Abdullah bin Abu Thalhah, seorang tabi’in ahli fiqh yang termahsyur. Juga sembilan saudaranya yang lain, semuanya ahli ilmu dan hafal al-Qur’an.
Subhanallah, Allahu Akbar!!

Dikutip dari buku Teladan Tarbiyah