Hari itu bertepatan dengan hari libur kuliah. Ranid bersama
kawan-kawan ikhwan lainnya bersiap untuk mengadakan rihlah. Tidak kurang
24 orang pemuda dan satu orang yang dianggap ustadz yang sudah tak muda
bersiap untuk menaklukkan sebuah puncak gunung yang dianggap bertuah.
‘Ala kuli hal semua dilakoni dalam rangka untuk mengambil
sebanyak-banyaknya hikmah.
Tepat pagi hari mereka sudah sampai di pintu gerbang masuk menuju
puncak. Usai sholat shubuh berjama’ah dan sedikit pemanasan sarapan-pun
dimasak. Suasana keakraban dan kekeluargaan mulai tampak. Berbagi
makanan, minuman, dan pengambilan foto pun sudah menjadi hal yang sangat
layak.
Bismillah, acara pun dibuka Ustadz Sanwani pun memberikan petuah
terkait dengan hal pendakian. Bahwasannya dalam mendaki jangan-lah
berbicara seperti halnya dalam membuang sampah yakni—jangan suka
sembarangan. Dan tak lupa zikir pun harus dan senantiasa untuk
diucapkan. Dan tak lupa juga niatkan pendakian ini dalam rangka
beribadah karena Allah yang menciptakan segenap insan.
Pendakian dibagi menjadi 3 tim kecil. Ranid cs ditempatkan pada
urutan tim kedua dikarenakan dalam urusan daki-mendaki mereka masih
dianggap jahil. Bagaimana tidak pengalaman Ranid sebelumnya hanyalah
mendaki sebuah bukit nan mungil. Namun walaupun begitu semangat
mereka—Ranid Cs dalam pendakian ini tidaklah secuil.
Pada kilometer awal track masih lancar dan belum ada halangan yang
berarti. Mendaki gunug lewati lembah adalah kondisi jalur pendakian
persis soundtrack-nya Ninja Hatori. Namun perlahan tapi pasti
kengerian-kengerian mulai nampak menghampiri. Medan yang masih liar dan
hutan-hutan masih sangatlah asri. Serangan-serangan pacet atau lintah
mulai datang silih berganti. Belum lagi kisah-kisah horor terkait
pendakian terus saja membayangi.
Ranid masih terus berusaha untuk melewati track yang dirasa sulit.
Ibarat ultra-man mungkin lampu di dadanya sudah kedap-kedip dan
berbunyi tit-tit-tit. Minuman dan makanan pun harus diirit-irit. Ya,
karena di gunung tidak ada tuh yang namanya warung yang jual kopi pahit.
Yang ada hanya humus, lumpur, dan akar pohon yang berbelit-belit.
Sejatinya mendaki gunung adalah suasana yang tepat untuk pembentukan
karakter diri. Sifat manja, egois, pelit dan sebagainya muncul tanpa
disadari. Ada seorang teman yang rela membawakan tas temannya yang
beratnya mungkin melebihi tubuhnya sendiri. Ada juga seorang ikhwan yang
rela untuk menemani temannya walaupun temannya tersebut kerap
menghambat jalur yang dilalui.
Ranid teringat akan ucapan seorang ustadz muda. Bahwa safar berasal
dari kata sa-fa-ro yang berati terbuka. Safar atau perjalanan pada
hakikatnya akan membuka watak seorang manusia. Dan hal itu terbukti
dalam hal berpergian ke sebuah gunung yang notabenenya daerah atap
dunia.
Dalam kondisi istirahat dan kondisi sisa-sisa tenaga. Ranid
menyempatkan diri untuk bercanda. Sekedar hanya untuk meregangkan
otot-otot yang tegang karena beratnya medan laga. Ia pun menuturkan
sebuah tembang yang cukup akrab ditelinga. Dimana.. Dimana.. Puncaknya..
Kucari.. Kucari.. Dimana..
Medan dirasa semakin menantang. Ternyata tracknya tak seindah yang
terbayang. Jalan setapak sangat kecil tak cukup untuk dua orang. Di sisi
kanan-kiri pun yang terlihat hanyalah jurang. Melihat hal itu Ranid
mendadak takut bukan kepalang. Maka mulutnya pun terus berzikir seolah
malaikat maut tengah menghadang.
Ranid berpikir tentang sebuah lagu diwaktu ia masih balita. Sering ia dengar ketika ia masih duduk dibangku TPA.
Naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali 2x..
Kiri-kanan kulihat saja banyak pohon cemara a a a 2x..
Sederet pertanyaan berseliweran dihadapan mukanya. Yang pertama
adakah anak kecil yang sudah pernah naik ke puncak gunung seperti dalam
bait yang tertera? Dan yang kedua adalah Kenapa ekspresi menyanyikan
lagu tersebut harus riang gembira?
Akhirnya ia pun mencoba untuk menggubah syairnya.
Naik-naik ke puncak gunung. Ngeri-ngeri sekali 2x..
Kiri-kanan kulihat saja banyak tebing jurangnya a a a 2x..
Pendakian sudah memakan waktu yang lama dan panjang. Namun puncak
yang dituju tak kunjung terlihat di selayang pandang. Waktu pun sudah
menunjukkan waktu petang. Dan mereka semua sepakat untuk membuat kemah
tepat dibawah pohon yang rindang.
Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan. Puncak gunung hanya tinggal
berkisar 1 kilometer-an. Dengan modal sarapan yang cuma cukup untuk
ganjalan. Mereka semua bersemangat dalam hal melakukan pendakian. Tujuan
mereka hanya satu yakni melihat dari atas puncak gunung pemandangan
yang indah untuk dilewatkan.
Alhamdulillah sampailah mereka semua di atas puncak gunung. Rasanya
sangatlah memuaskan seperti halnya seorang Michael Angelo yang telah
berhasil membuat sebuah patung. Ranid dan kawan-kawan untuk sejenak
merasa linglung. Mereka masih sangat berharap bahwa di atas puncak
tentang adanya sebuah warung.
Setelah makan dan istirahat sebentar. Ustadz Sanwani pun membuka
sedikit ta’lim guna menjelaskan berbagai macam i’tibar. Semua peserta
pendakian merapatkan diri bersiap untuk mendengar. Walau perut
keroncongan menahan lapar.
Ustadz Sanwani dengan lahjah (logat) yang khas berkata “naek gunung
salah satu proses tarbiyah, dimana kita bisa tau atau ta’aruf tentang
kondisi saudara-saudara kita. Mungkin kita baru tau bahwa oo si fulan
begini si fulan begitu. Karena mungkin waktu liqo si fulan tadi masih
nutup diri. Nah pas mendaki gunung semua itu kebuka”.
Dalam proses naek gunung kita juga diajarin bersyukur. Coba buat
antum yang sudah ninggalin jejak (buang air) kebayang kan, gimana
ribetnya thoharoh tanpa aer? yang ada cuman daon, batu, kayu.
Alhamdulillah itu daon gak ada ulet bulunya, coba kalo ada. Gak kebayang
dah kita bakalan repotnya. Mulai sekarang biasain dah bersyukur. Panas
disyukurin, hujan juga kita syukurin. Ini semua rahmat Allah. Macet
disyukurin, gak macet pun disyukurin. Jangan bisanya cuman teriak
galau.com, pusing, capek, lemah lesu dan sebagainya.
Masih Ustadz Sanwani melanjutkan. Dan tanpa komando para peserta
pendakian pun asik mendengar dan mengikuti satu-persatu kata-kata yang
keluar dari mulut beliau.
“Yang selanjutnya kita diajarin jangan isti’jal. Jangan terburu-buru,
semua butuh perencanaan yang mateng. Kayak tadi kan antum, pas di bawah
makan minum diatur sedikit sedikit. Gak boleh juga ada yang maruk atau
rakus, makanan cuman buat dia doang misalnya. Kalo belum siap ke
marhalah atau tingkatan atau track selanjutnya. Ya gak apa-apa juga kita
istirahat. Introspeksi apa yang harus dibenahin. Kalo kita buru-buru
sampe ke atas yang ada cuman capek doang, temen kita kemana, kita udah
dimana. Harusnya kita tungguin temen kita, yang udah agak capek
ditungguin. Jangan ngerasa kuat lantas malah ninggalin temen yang kita
anggap cuman kerikil dalam perjalanan kita, kalo ada temen yang ngarahin
atau minta bantuan yaa kita dengerin dulu, pokoknya santai saja jangan
keburu-buru mau naklukin gunung.”
“Yang terakhir yang gak kalah penting adalah zikir. Kita dipaksa
zikir sama Allah, coba kalo jalannya biasa-biasa aja, mungkin kita gak
bakalan zikir kali. Tapi kan ada jurang, banyak jalanan yang terjal dan
lain lain. baca lagi surat Al Isro 67 –dan apabila kamu ditimpa bahaya
dilautan, niscaya hilang siapa yang kamu seru kecuali Dia-.
Kadang-kadang kita harus dipaksa untuk zikir dulu. Kalo lagi kira-kira
bahaya kita langsung inget, langsung zikir. Kalo nggak gitu ya susah
juga buat kita mengingat nama Allah. Dan kalo kita udah inget Allah
terus percaya dah kita gak bakalan keder atau tersesat dalam perjalanan
hidup ini”.
Tak terasa sudah setengah jam mereka menggelar ta’lim. Intinya bagi
Ranid hal ini menjadi pengalaman baru dalam hidupnya yang minim. Hikmah
ataupun ilmu bisa diperoleh dimana saja asalkan orang-orang mau berpikir
terhadap ciptaan Allah al ‘Alim.
Maka mereka pun berkemas bersiap untuk pulang menuju rumah
masing-masing. Medan penurunan pun dirasa tak sesulit medan pendakian
dikarenakan ia lebih miring. Waktu yang dihabiskan pun terasa lebih
sedikit membuat para peserta tidak menjadi pening.
sumber : dinarzulakbar_mail@yahoo.com
No comments:
Post a Comment